Arema FC curiga ada SOP tak dipatuhi saat terjadi insiden pelemparan batu di Stadion Kanjuruhan /p>
MALANG – Insiden pelemparan batu yang mengenai bus tim tamu Persik Kediri memicu kekecewaan mendalam di manajemen Arema FC. Mereka berpendapat bahwa ada kemungkinan standar operasional prosedur (SOP) yang ditetapkan tidak dijalankan dengan baik, mengingat intensitas rivalitas antara kedua tim yang cukup tinggi.
Pertandingan antara Arema FC dan Persik Kediri yang berlangsung pada pekan ke-32 Liga 1 2024-2025 di Stadion Kanjuruhan, Malang, memang dikenal berisiko tinggi. Persaingan di antara para pendukung kedua tim sering kali membawa ketegangan yang dapat memicu situasi tidak aman.
Pengamananku Mengacu pada Protokol

Sesuai dengan pengamanan yang biasa diterapkan pada laga-laga berisiko, Persik Kediri tidak melakukan perjalanan dengan kendaraan barracuda (kendaraan taktis), meski sebelumnya telah disiapkan. Mereka tetap menggunakan bus seperti biasa, yang dianggap tidak ideal mengingat potensi bahaya yang ada.
“Pertandingan kemarin tergolong dalam kategori tingkat pengamanan high risk match, dan Arema FC sudah memenuhi semua kesepakatan yang ada. Kami merasa prihatin karena kejadian pelemparan bus Persik terjadi di zona 4, yang berada di luar area stadion dan seharusnya menjadi perhatian pihak keamanan,” ujar Muhammad Yusrinal Fitriandi, General Manager Arema FC, mengungkapkan kekecewaannya.
Fitriandi menegaskan bahwa dari segi produksi pertandingan, manajemen telah melakukan peningkatan signifikan sesuai regulasi dan kebutuhan pengamanan. Dalam dua pertandingan terakhir, mereka menghabiskan lebih dari Rp1 miliar untuk memastikan keselamatan semua pihak yang terlibat.
“Kami telah melakukan semua peningkatan yang diperlukan mulai dari ring 1 hingga ring 4, sesuai dengan regulasi dan kebutuhan pengamanan. Kami memahami bahwa semua ini harus dilakukan demi keselamatan dan kelancaran pertandingan di Stadion Kanjuruhan,” jelas Fitriandi.
Sikap Terhadap Stigma Negatif
Sementara itu, manajemen Arema FC mengungkapkan perasaan frustasi karena mereka merasa selalu menjadi pihak yang disalahkan atas insiden-insiden yang berulang, termasuk pelemparan batu tersebut. Ia mencurigai bahwa ada stigma yang berpihak kepada kelompok tertentu sebagai pelaku utama.
“Kami selalu menjadi sasaran tuduhan, seolah-olah manajemen terlibat langsung dengan pelaku pelemparan bus. Apakah itu oknum atau kelompok yang merasa perilakunya tidak salah. Kejadian ini terjadi di zona 4, jauh dari kewenangan panitia pelaksana, dan seharusnya bisa diantisipasi,” jelas Fitriandi dengan nada kecewa.